Skip to main content

Mengajak Anak Tersenyum

Gue bukan seorang ibu yang baik. Agak terlalu memaksakan kehendak, dan sangat ingin anak gue berkembang. Menurut gue, jika kalian pikir itu hal yang baik untuk seorang anak adalah salah. Mereka menjadi tidak bebas. Gue mengaku salah atas pola yang gue terapkan pada awal memiliki buah hati.
Menyesal? Sangat!

Lalu, apa yang saat ini gue lakukan untuk menebus kesalahan pola asuh? Gue membebaskan anak hanya untuk melihatnya tersenyum. Ya! Gue coba segala cara kegiatan yang sekiranya dia suka. Gue ajak dia main mainan yang dia mau bukan yang gue mau. Lalu?

Sudah berapa lama gue menerapkan dan sejak usia berapa gue sadar hal inilah yang terbaik? Saat anak gue berusia 2 tahun. Terlambat? Ya! Tapi lebih baik daripada gue tidak sadar sama sekali untuk mengubah pola tersebut. 

Apa yang membuat gue sadar akan hal tersebut? Saat gue menyadari anak gue kurang berkomunikasi. Gue tidak tahu, dia speech delay atau tidak. Tapi, gue sangat sadar dia malas untuk bicara dan mengeluarkan kata. Banyak merengek dan mengucap yang tidak banyak dipahami manusia dewasa. Saat lingkungan gue banyak bertanya "Dia bicara apa sih? Yang jelas dong kalau bicara". Gue merasa hal itu harus segera dilatih. Agar tidak berkepanjangan dan benar-benar terlambat sehingga harus ditangani oleh Ahli.

Setelah 7 bulan, gue dan suami intens mengajak si anak komunikasi dengan lebih sabar juga menata hati kami agar lebih hangat kepada si anak. Saat ini, anak gue sudah mulai berani tampil. Dia mulai bisa berkicau seperti anak burung yang belajar bernyanyi. YA! Anak gue suka menari dan menyanyi. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Bukan soal turunan siapa dia punya minat seni tersebut, tapi gue bangga. Anak gue mulai berkomunikasi melalui seni. 

Gue sangat sadar mengetik semua hal di blog ini. Alasannya untuk terus menyemangati ibu yang merasa anaknya terlambat dalam komunikasi. Anda tidak sendiri, banyak orang tua lain yang merasakan dan juga berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya. Tapi, sesungguhnya memberikan yang terbaik menurut orang tua bukanlah hal yang penting. Terpenting itu adalah melihat senyuman si anak yang senang akan kegiatan yang dilakukan bersama orang tuanya.

Comments

Popular posts from this blog

Film Heart Attack a.k.a Freelance Movie (Thailand - 2015)

Poster Film Heart Attack (2015) Akhirnya, malam ini gue memberanikan diri menuliskan unek-unek mengenai film yang sudah gue tonton bersama pacar (jujur sih gue agak memaksakan dirinya untuk hadir di CGV Blitz tanggal 14 September 2015), maaf ya sayang :* Oke, fokus menulis pendapat: Menurut gue pribadi, film ini keren. hehe karena berdasarkan pengalaman pribadi dari sang sutradara yang pernah bekerja sebagai Freelancer di Thailand. Untuk film ini, P' Ter Nawapol berhasil membuat karakter Yoon (Sunny Suwanmethanont) menjadi seseorang yang workaholic alias gila kerja. Bekerja di bidang desain grafis menjadikan Yoon ga bisa bersosialisasi dengan lingkungannya hingga ga bisa memperhatikan dirinya sendiri. Pertanyaan terkeren yang ada di film ini dan sering kali kita lupakan adalah "Makan untuk hidup? atau hidup untuk makan?" Kata-kata itu merupakan tamparan keras bagi seseorang yang meleburkan dirinya untuk sebuah pekerjaan. Pada awal film, P' Ter membuat

Hidup Untuk Menulis Atau Sebaliknya?

Wah, sudah lama saya tidak menulis di blog ini. Tapi akan saya usahakan terus aktif dalam dunia penulisan. Apa yang menjadi alasan saya untuk terus menulis? Hmmm. Apa ya? Hal pertama yang membuat saya terus menulis adalah masa depan anak saya. Mungkin akan muncul pertanyaan. Kok bisa sih anak dijadikan alasan untuk menulis? Saya dengan mantap menjawab “Ya! Saya mulai menulis lagi karena anak saya. Saya ingin memberikan kenangan hidup untuk dia jika saya tidak panjang umur.” Terlalu lebay memang alasannya, tapi saya tidak ingin disisa waktu hidup saya yang sempit ini tidak membuahkan hasil. Waktu luang saya cukup banyak, sehingga jika tidak dipergunakan dengan baik, ya akan terbuang sia-sia. Terkadang saya suka punya pemikiran terkait peristiwa yang terjadi entah di lingkungan tempat tinggal atau yang saya dengar dan baca di media elektronik. Ingin sekali bicara dan diskusi seperti saat-saat sekolah atau kuliah. Tapi, anak saya belum bisa diajak bicara tentang hal tersebut. Ingin

liburan dadakan (1)

ini semua bermula...tepatnya tanggal 23 februari 2015. tante gue ngajak pergi ke kuala lumpur untuk jemput tante gue yang hari minggu berangkat kesana duluan sama temennya. oke, prepare pertama yang kami lakukan adalah mental. melancong ke negeri orang tanpa persiapan itu rasanya nanonano. beneran random, bukan masalah takut nyasar atau gimana. tapi akan kah kita dengan mudahnya ketemu sama tante gue yang sudah duluan disana. jadi, kami menentukan meeting point yaitu McDonalds Bukit Bintang. tanggal yang sama, pas banget itu hari senin yang cukup crowded menurut gue, karena gue dan tante gue yang ngajak berangkat, segera melakukan riset dadakan di semua browser di laptop dan hp. nyari tahu akses ke bukit bintang dari bandara. lalu dari bandara kita harus kemana lagi, karena ga mungkin kayak melakukan rescue yang cuma jemput doang abis itu balik ke jakarta, rugi bandar cyiiin (kalau kata tante gue). intinya pada malam hari sebelum tgl 24 februari, nomor paspor gue udah dipegang sam